ASTA MUSTHIKA ALAM (AMA) 8 INTI KEKUATAN ALAM
Menurut kacamata Sosro Jalmo terdapat Jagad Alit. Disni kami sebut sebagai bintang-bintang. Satu hal yang pernah ditanyakan oleh santri-santriku yang masih baru, “Gus, kenapa harus di hutan dan Guse suka kel LS (Laut Selatan)? Aku katakan, “Kita punya ilmu, jadi tidak asal waton sak wudele dewe”.
Pertama, kita mengenal Wiwara. Wiwara dipahami sebagai gerbang keluar masuknya energi. Dan di dalam Wiwara ada Galih Wiwara yang kemudian saya sebut sebagai Bintang Wiwara.
Jika bintang-bintang (wiwara) tersebut dilihat dari atas, bahwa bintang-bintang itu selalu berputar / bertowaf mengelilingi kita yang berpusat (maskotnya) pada AMA (Asta Musthika Alam) yang bersfiat panas, buas dan sakti. Kebangkitan dari AMA ini cukup dapat memotong-motong syaraf jika penggunaannya salah jalur atau tanpa dibalut dengan energi tinggi Ke-Ilahiyah-an yang bersifat dingin.
Orang yang memiliki energi AMA ini bisa gila jika ia sekonyong-konyong membangkitkan energi AMA tanpa adanya pengetahuan khusus dan bimbingan langsung dari sang Guru. Karena jikalau dipaksakan akibatnya buntang-bintang (wiwara) tersebut bisa tabrakan antar satu bintang dengan bintang yang lainnya, dapat dibayangkan apa yang terjadi? Wal hasil, orang yang memaksakan diri membangkitkan energi ini bisa berakibat fatal, minimal jadi majnun / gila.
Selain itu, bumi yang kita pijak ini juga memiliki Wiwara, yaitu Ka’bah, Laut, Gunung dan Sinten Sinambating Wangi-3.
1. Wiwara Ka’bah / Baitullah / Kiblat, sebagai Wiwara utamanya. Masjid-masjid dan slanggar diseluruh dunia mengarah pada Ka’bah yang saling berhubungan timbal balik diantara keduanya. Masjid-masjid tersebut dinamakan Wiwara Binangun dipahami sebagai Wiwara kecil yang selalu terhubung dengan Wiwara Utama, yakni Ka’bah Baitullah.
2. Lautan, juga sebgai Wiwara Utama yang saing berkesinambungan dengan sungai-sungai kecil didaratan, dimana lautan sebagai muaranya.
3. Gunung, merupakan Wiwara Utama bagi hutan yang ada disekitarnya dimana mereka saling terhubung. Hutan-hutan dan buatan termasuk wiwara kecil yang kemudian disebut sebagai Wiwara Binarung.
4. Wiwara Sinten Sinambating Wangi ke-3 (karena jumlah Wiwara Sinten Sinambating Wangi ada 9 jenis dengan simbol warna yang berbeda-beda) dan Sama’i Dunya (langit dunia) juga termasuk kategori Wiwara Utama.
Itu alasannya kenapa saya suka ritual di laut atau di gunung-gunung dan hutan belantara. Soalnya, ada kabar miring bahwa Guse adalah penyembah Nyi Roro Kidul. Hemmmmm... Salah lagi, salah lagi..! Kita orang Kasawendran, masih ada hubungan darah dengan Mbak Ayu Ratu Kidul, yakni sama-sama keturunan dari Eyang Prabu Silihwangi, gitu nggih. Ampun salah tompo / salah terima.
Saat kami sedag mengadakan ritual ingkung, (mohon maaf, ini beda dengan faham para leluhur kita). Ritual saya menggunakan ingkung, nasi gunungan dan kuluban (kuluban bermakna hutan, bukan kulub/kalbu) dengan kelapa/air. Semuanya itu adalah sebagai Wastra Daya (Simbol Energi) dari sang Bantala (bumi).
Jadi... sengaja saya geser sedikit dari kisah asal mengenai Ingkung yang ada sangkut pautnya dengan pedanyangan dan juga Semar. Gitu nggih...! jadi... masalah ritual dan spiritual tidak ada hubungan apapun dengan Hj, Maryam Kultsum / penguasa Laut Selatan.
Satu hal yang perlu diperhatikan dari gambar diatas adalah mengenai titik-titik internal dan eksternal yang ada di Wiwara 8 yakni Wiwara Sinten Sinambating Wangi ke-2 yang menunjukkan arti sikap / sifat dalam diri kita (kutub positif dan kutub negatif) yang mengelilingi garis edar Wiwara (bintang) Sinten Sinambating Wangi 2 yang dikomandani oleh Aku, ya... kita ini. Titik-titik eksternal adalah diri kita yang tampak oleh mata tetangga (pandangan orang lain yang melihat dan menilai penampilan kita) yang memancar keluar dari koridor Wiwara 8 / Sinten Sinambating Wangi 2 tersebut. Dan antara titik-titik internal dan eksternal harus saling berpasangan, yakni sifat-sifat kita yang berlawanan, seperti kaya dan miskin dan seterusnya.
Pada dasarnya, tidak ada cipta (kehendak dan keinginan) yang tidak terwujud yang dihasilkan oleh KUN yang keluar dari dari kita. Yang membuat kita sekarang menjadi seperti ini... menjadi begini... bukanlah hasil dari cipta pihak lain, akan tetapi dari kita sendiri, dari tingkah polah kita sendiri, baik buruknya yang kita rasakan saat ini adalah kehendak kita di masa lalu, kemarin atau sudah dahului lama sekali, dan bukan kehendak orang lain.
Maka... kesannya jadi lucu jika keadaan yang sekarang kita alami / kita rasakan (baik penderitaan maupun kebahagiaan) namun tidak disyukuri, akhirnya kita tetap berada di posisi nol, tidak ada kemajuan sama sekali “Lain syakartum la azidannakum, walain kafartum Inna ‘adzabii lasyadid”, ia merasa bahwa setiap doanya tidak dikabulkan. Padahal semua doa dan cipta kita sudah maujud. Maka jangan salahkan pihak lain jika kita kegagalan, seperti mengharapkan nasi tapi yang terwujud adalah secangkir kopi. Kenapa ini bisa terjadi? Karena kita sedang meng-KUN (mencipta) sepanci air untuk kopi dan bukan meng-KUN sedandang nasi.
Hasil dari perpaduan antara kedua kutub, yakni Kutub Negatif dan Kutub Positif yang ada di Wiwara 8 (Sinten Sinambating Wangi 2) sudah saling berpasang-pasangan, maka hasil akhir dapat dilihat dan KUN-pun dapat tercipta sesuai selera yang kita inginkan, contoh :
Internalnya (jiwa kita) = Dermawan dan Externalnya (aplikasi sehari-hari) = Pelit, Maka orang lain menilai kita sebagai orang yang pelit (dan memang itu kenyataannya). Itu artinya kehendak (KUN) kita sedang menciptakan daya “pelit” di alam raya ini (alam nyata). Padahal sudah jelas tertera di Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu yakni Al-Qur’an Al-Karim yang notabene sebagai Pandoming Urip mengajarkan kepada kita untuk selalu berderma, namun kita mengabaikannya.
Contoh lagi, yang paling umum, kita membenci “ke-miskin-an”. Karena kita hidup dalam keadaan miskin / merasa miskin, kurang segala-galanya, bahkan kita mencaci maki dan membuangnya jauh-jauh perasaan ini. Nahhh..... kita (jiwa miskin yang ada di dalam diri kita) jelas tidak menerima jika diperlakukan seperti itu, yang jelas marah dan tampil sejadi-jadinya (berupa apapun) demi untuk mendapatkan pengakuan dan mengadu kepada alam bawah sadar kita dan mengukuhkan bahwa yang miskin adalah diri kita sendiri (menguasai/ menghantui perasaan kita), akhirnya komposisi – dan + menjadi terbalik yang Internal (cita-citanya) menjadi orang kaya sedangkan yang Externalnya menjadi Miskin.
Jika sudah begini, lhaaa mbok jungkir balik, kepala dijadikan kaki dan kaki dijadikan kepala, banting tulang kerja siang malam tanpa mengenal lelah hanya gara-gara takut pada perasannya sendiri (yang sudah menyatu dan mendarah daging) hasilnya akan tetap sama saja, yakni hidup penuh dengan kemiskinan dan serba kekurangan, karena itu yang dirasakan oleh jiwa terdalam kita.
Maka, sah-sah saja jika nasib itu di niatkan menjadi laku tirakat, misalnya kita tidak mau menjadi kaya, dan kita ingin menguji keimanan dan kesabaran kita, maka kemudian kita menyusun strategi dengan komposisi tersebut. Seperti Kanjeng Syekh Abdul Qadir Al-Jailani RA, yang mengembangkan konsep sabar, bahkan beliau menyusun amalan-amalan tertentu untuk mencapai konsep diatas.
كن صل على محمد – كن صل على محمد
صلى الله على محمد – صلى الله على محمد
0 Response to "ASTHA MUSTHIKA ALAM INTI KEKUATAN ALAM DALAM DIRI MANUSIA"
Post a Comment